Epilog Takdir bag 2 by Meysha Lestari. Jodha tersentak merasakan perih dan sakit yang tak terkira di kepala dan perutnya. Kepalanya berdenyut-denyut ngilu dan perutnya seolah-olah baru saja di iris benda tajam. Rasa sakitnya begitu menghujam. Lebih-lebih tengorokannya terasa panas dan kering. Dia ingin minum. Moti yang menungguinya segera berdiri mendengar erangan lirih Jodha. Panggilnya, “jodha….kau sudah sadar? Jo….” Jodha dengan perlahan membuka matanya. Yang pertama tampak olehnya wajah Moti yang tersenyum lega.
Jodha coba mengumpulkan kesadarannya. Setelah semuanya terkumpul, dia menatap sekeliling ruangan yang berwarna putih dan samar-samar tercium bau kloroform yang khas. Jodha meminta air pada moti, “aku haus moti…” Moti segera mengambil gelas berisi air mineral dan memberi Jodha minum memakai sendok.
“Kenapa kita di sini Moti?” tanya Jodha sambil menatap sekeliling. Moti tersenyum, “kau telah melahirkan Jodha. Seorang bayi laki-laki…” Jodha menyentuh perutnya lalu tesenyum gembira, “apakah dia baik-baik saja?” Moti mengangguk besemangat, “dia baik-baik saja. Sangat sehat…. wajahnya sangat mirip dengan…” Moti tidak melanjutkan ucapannya. Ada kesedihan bergayut di matanya. Jodha bisa merasakan itu.
Moti dengan terbata-bata menjawab, “Mister sedang pergi ke Delhi untuk satu urusan. Dia menyuruhku untuk menjagamu. Keluargamu juga ada di sini. Mereka menemani anakmu.”
Raut wajah Jodha terlihat kecewa. Tapi dicobanya untuk tersenyum, “tidak apa-apa. yang penting dia selamat. Kalau di telpon, berikan padaku ya. Aku ingin bicara apdanya.” Moti mengangguk ragu-ragu.
Jodha bertanya pada Moti, “berapa lama aku tidak sadar, Moti? Seperti sudah lama sekali aku tertidur. ” Moti membeirtahu Jodha kalau di sudah taks adar selama 5 hari. Jodha berkata, “aku bermimpi buruk, Moti. Aku meliat seseorang mirip Syarifudin hendak menikam Jalal. AKu takut sekali….” Moti tidak menyahut. Tapi dalam hati dia berkata, “itu bukan mimpi Jodha. Itu yang sebenarnya…”
Jodha bertanya pada Moti, “berapa lama aku tidak sadar, Moti? Seperti sudah lama sekali aku tertidur. ” Moti membeirtahu Jodha kalau di sudah taks adar selama 5 hari. Jodha berkata, “aku bermimpi buruk, Moti. Aku meliat seseorang mirip Syarifudin hendak menikam Jalal. AKu takut sekali….” Moti tidak menyahut. Tapi dalam hati dia berkata, “itu bukan mimpi Jodha. Itu yang sebenarnya…”
Moti teringat peristiwa 5 hari lalu. Ketika Syarifudin masuk kerumah mereka dan terjadi perkelahian sengit antara kedua. Jalal berhasil melukai Syarifudin hingga merenggang nyawa. Tapi sebelum mati, Syarifudin berhasil menusukan belati ke dada Jalal, yang telah membuatnya terbaring tak berdaya di ruang ICU tak jauh dari kamar di mana Jodha di rawat. Lukanya sangat parah, ujung pisau telah mengenai jantungnya. Dokter sudah angkat tangan. Hanya keajaiban yang bisa membuat Jalal bertahan. Dan Moti merasa sangat menyesal dan sedikit bersalah karena harus berbohong pada Jodha.
Seminggu telah berlalu. Kesehatan Jodha sudah pulih. Dia sudah bisa berjalan kesana kemari dan mengangkat bayinya sendiri. Meski sangat bahagia mendapat buah hati yang sehat dan tampan. Tapi hatinya sangat sedih, karena Jalal tidak pernah menelponnya sekalipun. Dan setiap kali Jodha coba menelpon atau mengirim pesan, semua berakhir tanpa balasan. Tiap kali dia bertanya pada orang tua dan mertuanya, mereka hanya menjawab kalau Jalal sedang ada urusan di luar kota. Jodha sampai merasa heran dan bertanya-tanya sendiri, urusan seperti apa yang bisa membuat Jalal melupakan istri dan anaknya.
Saatnya untuk keluar dari rumah sakit tiba. Hamida dan Mainawati menemani Jodha dan bertanya padanya, “bagaima perasaanmu sekarang sayang? Sudah cukup kuat untuk pulang?” Jodha mengangguk, “merasa sehat seperti sedia kala. Hanya ada sedikit nyeri dan gatal di jahitan. Tapi tidak masalah…” Hamida terseyum penuh misteri, “syukurlah. Biar Salim pulang kerumah bersama Moti. Aku ingin kau ikut kami menemui seseorang.” Jodha mengangkat alisnya dengan heran, “seseorang? siapa? Di mana?”
Mainawai membimbing Jodha, “di rumah sakit ini juga. Dia pasti sangat ingin bertemu denganmu. Tapi kami ingin kau sehat terlebih dahulu..karena kami tidak ingin terjadi apa-apa denganmu.” Meski dengan rasa penasaran, Jodha mengangguk mengiyakan, “baiklah. Kita bisa pergi sekarang? Kasihan Salim kalau harus menunggu di rumah sendirian.” Hamida dan Mainawati saling bertukar pandang.
FF Jodha Akbar yang lain:
Kedua wanita itu membawa Jodha ke sebuah kamar perawatan tingkat 1 di dekat ruang ICU. Saat melihat ruangan itu, jantung Jodha berdebar tak menentu. Seolah-olah ada seseorang yang dekat dengan hatinya sedang menunggu untuk bertemu. Tiba di depan ruang itu seorang perawat menyambut mereka. Dia memberi sedikit petunjuk pada Hamida dan Mainawati tentang kondisi pasien yang di rawat di sana. Tapi dia tidak menyebutkan nama. Hamida dan Mainawati mengangguk mengerti. Berdua mereka menggandeng Jodha.
Saat masuk keruangan itu, Jodha tidak punya perasaan apa-apa. Hanya saja debaran jantungnya semakin keras. Jodha melangkah mendekati tempat tidur di mana terbaring diam sesosok tubuh yang sepertinya dia kenal. Setelah begitu dekat, Jodha tercekat… menyadari sosok yang terbaring itu adalah Jalal. Jodha segera menghambur memeluknya sambil menangis pilu. Hamida dan Mainawati hanya bisa berdiri terpaku. Ada rasa bersalah dalan hati mereka berdua karena harus menyembunyikan kenyataan itu dari Jodha.
***
Jalal seperti bermimpi di perlakukan semesra itu oleh Jodha. Tapi sebelum dia bisa memahami semuanya, Jodha jatuh pingsan. Dan bergitu tersadar, sikapnya berubah lagi. Tidak lagi semesra dan sehangat sebelumnya. Dia bahkan menatap Jalal dengan tatapan penuh kecurigaan. Ketika Jalal coba menyentuh tanganya, Jodha menepiskan tangan Jalan dengan kasar. Membuat Jalal bingung dan gusar.
Jalal bertanya dengan kesal, “ada apa denganmu sebenarnya? Sebentar tadi kau begitu mesra padaku, memelukku dan menciumku. Memohon agar aku tidak meninggalkanmu, dan sekarang…” Jodha menatap jalal penuh kebencian , “jangan mimpi! Itu tidak mungkin terjadi. Aku ingin kau pergi dari sini, sekarang juga! Aku ingin sendiri!” Jalal tidak juga beranjak pergi seperti yang di minta Jodha. Dia masih tetap berdiri mematung dengan mata mengawasi gerak-gerik Jodha. Jodha menjadi geram, “kalau kau tidak mau pergi, biar aku saja yang pergi dari sini.”
Jodha hendak beranjak keluar dari kamar itu, ketika Jalal meraih pergelangan tangannya, “siapa bilang kau bisa pergi meninggalkan aku? Kau sudah memintaku untuk tidak meninggalkanmu. Dan aku sudah berjanji untuk selalu bersamamu… Apakah kau lupa dengan semua itu?”
***
“jangan pergi! Tetaplah di sini!” suara lirih itu mengangetkan Jodha. Sentuhan yang lemah di pergelangan tanganya membuat jantungnya berdebar-debar bahagia. Jodha tak jadi pergi. Dia membalikan badan dan menatap dengan penuh harap pada Jalal yang masih terbaring diam. Melihat tidak ada gerakan berarti, Jodha merasa kalau dia sedang berhalusinasi. Suara dan sentuhan Jalal hanya bayangannya saja. Dengan senyum kecewa dia berbalik hendak pergi. Tapi sekali lagi tersengar suara Jalal melarangnya pergi. Jodha yakin kalau dirinya tidak mimpi. Itu suara Jalal. Saat dia berbalik, dan Jalal masih diam, Jodha dengan perasaan kecewa menabrak tubuh Jalal dan tanpa sengaja menekan luka di dadanya. Jalal membuka mata sambil berteriak lirih, “aduh… sakit sekali!” Merasa di permainkan, Jodha menangis histeris sambil memukuli jalal. Suara tangisan Jodha membuat para perawat berlari menghampirinya. Mereka juga terbelalak tak percaya, kalau pasien yang sudah di “vonis” oleh dokter, telah sadar dari komanya.
Sebulan kemudian….
Senja yang penuh nuansa. Jalal duduk di bangku taman di depan rumahnya bersama Jodha. keduanya duduk begitu dekat. Jalal mengalungkan tanganya di pundak Jodha, sementara Jodha menyandarkan kepalanya di bahu Jalal. Mata keduanya menatap mentari yang hampir tenggelam di ufuk. Jalal menggenggam jemari Jodha, “aku merasa senang masih bisa menikmati senja ini bersamamu. Setelah begitu banyak persoalan kita hadapi, kita masih di takdirkan untuk bersama.” Jodha menjawab, “aku juga. Padahal aku sudah putus asa dan merasa sangat tidak berdaya melihatmu terbaring diam di sana.”
“benarkah?” tanya jalal, “ku pikir kau malah merasa bahagia, karena terbebas dari masalah …” Jodha memukul Jalal dengan kesal, “asal…!” Jalal mencium kening Jodha, “bukan Asal. Kau tahu saat aku tertidur itu aku merasa…..kau begitu membuatku gila. Kadang kau baik penuh perhatian, kadang kejam tak berperasaan. Tapi anehnya….aku merasa… kalau saat itu kita tidak hidup di zaman ini…” Jodha menyela, “..seperti hidup di zaman raja-raja?” Jalal menegakan duduknya dan menatap Jodha. Jodha balas menatapnya. Keduanya saling berpandangan….seolah ingin memastikan. Setelah cukup lama memandang wajah cantik Jodha, Jalal mengecup keningnya dan kembali mengalungkan tangan ke pundaknya dan berkata, “mungkin takdir kita di mulai dari sana!”
Mata dewa hampir terpejam. Bola merahnya sebagian telah hilang. Tapi sepertinya dia tidak rela untuk segera pergi kepaduan. Dia ingin terus menatap untuk memastikan kalau dua insan yang sedang mengamati dirinya itu akan tetap bersama. Agar esok dia bisa melihat mereka lagi…lagi..dan lagi…. seperti yang telah terjadi berabada-abad lalu. TAMAT