Takdir bag 50 by Tahniat. Suryabhan meraih tubuh Jodha dan memeluknya. Jodha menahan dada Surya dengan tangannya, sehingga saat berpelukan tubuh mereka tidak menempel rapat. Surya mencium kening Jodha dengan lembut, lalu menatapnya dengan penuh kerinduan, “aku senang kau menelponku.” Jodha tersenyum, “terima kasih telah meluangkan waktu untukku. Kau pasti sibuk sekali kan?” Surya balas tersenyum, “sesibuk apapun, aku selalu punya waktu untukmu. Sesuai permintaanmu, aku sudah menyiapkan tempat untukmu menginap. Dan kau tak perlu berterima kasih padaku, Jodha. Seperti sudah kubilang, aku senang kau mau menghubungiku.” Surya tidak melihat barang bawaan Jodha, dengan heran dia bertanya, “mana tas mu?” Jodha menggeleng, “aku tidak membawa apa-apa. Aku hanya membawa tas kecil ini saja.” Surya tersenyum penuh pengertian, “ya, kau tidak membutuhkannya. Apapun yang kau perlukan, bisa kau dapatkan di Agra.” Jodha memaksa diri untuk tersenyum, dalam hati dia berkata, “tidak semua, aku tidak bisa mendapatkan Jalal di Agra.” Surya menggandeng tangan Jodha menuju ke mobilnya. Jodha menurut saja.
Surya menghentikan mobilnya di depan Hotel Clarks Shiraz, Agra. Jodha ingin protes, tapi Surya memberi isyarat dengan menyilangkan telunjuknya di bibir. Mereka tidak perlu check in lagi, karena sepertinya Surya sudah check in terlebih dahulu. Beberapa petugas Hotel bahkan mengangguk hormat pada Surya yang membalasnya dengan senyum ramah. Yang dimaksud tempat menginap oleh Surya adalah sebuah kamar deluxe di Hotel Clarks Shiraz, Agra. Jodha tidak tahu harus berkata apa, ketika Surya mengajaknya masuk ke kamar hotel itu. Ada rasa jengah dan sedikit tidak nyaman, berdua di dalam kamar hotel bersama pria yang bukan suaminya. Tapi Jodha tidak punya pilihan lain. Surya telah baik hati menolongnya.
Jodha meletakkan tas ranselnya di tempat tidur dan berjalan ke jendela. Malam sudah menjelang, lampu-lampu terlihat gemerlap di luar. Jodha menganggumi keindahan pemandangan malam di Agra. Kubah Taj Maham terlihat begitu megah dengan sorotan sinar beraneka warna. Surya menghampiri Jodha dan berdiri di sisi lain jendela, “aku tidak tahu apa yang membawamu ke Agra, Jodha. Tapi kau harus tau, bapak dan ibuku akan senang kalau kau mau tinggal di rumah kami.” Jodha menjawab cepat, “tidak Surya, aku tidak ingin merepotkan orang tuamu. Aku sudah cukup malu karena telah merepotkanmu. Dan lagi aku tidak ingin siapapun tahu kalau aku ada di sini. Maukah kau berjanji padaku?” Surya bertanya, “berjanji apa?” Jodha menatap Surya, “berjanji kalau kau tidak akan mengatakan pada siapapun kalau aku ada di Agra.” Surya terlihat ragu, “aku tidak tahu Jodha…” Jodha mengambil tangan Surya dan meletakkan di atas kepalanya, “kumohon, berjanjilah Surya!” Surya dengan terpaksa mengangguk, “tapi katakan padaku, apa masalahmu? Kenapa kau pergi kemari seorang diri? Apakah Jalal tahu?” Jodha tidak menyahut. Surya dengan cepat menebak, dia mengakat alisnya tak percaya, “bagaimana kau bisa lepas dari pengawasannya? Bukankah dia selalu bersikap possesif dan protektif padamu?” Jodha dengan tatapan memohon berkata, “Surya, bisakah kita tak membicarakannya?”
Surya duduk di kursi di depan jendela sambil mengawasi Jodha yang berdiri menatap ke luar jendela. Dengan rasa ingin tahu Surya bertanya, “Jodha, katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi? Mungkin aku bisa membantumu..” Jodha membalikan badan dan menyandarkan punggungnya di jendela, “aku…aku merasa, jauh dari Jalal lebih baik bagiku.” Surya mengerutkan alisnya, “kenapa?” Jodha menunduk, “aku tidak bisa mengatakannya padamu. Tapi aku butuh bantuanmu. Aku ingin menetap di Agra. Bisakah kau carikan tenpat tinggal untuk ku? Sebuah flat atau apartemen? Jangan yang mewah, tapi yang sederhana saja. Aku takut tidak bisa membayar sewanya.” Surya menggeleng tak terima, “tak perlu memikirkan uang sewa. Yang aku ingin tahu, apa rencanamu selama di Agra?” Jodha mengatakan rencananya pada Surya. Surya mengangguk mengerti. Sebelum malam semakin matang, Surya mengajak Jodha keluar untuk makan malam.
Di Delhi, Jalal mengurung diri di kamar Jodha. Ruq menggedor pintu kamar Jodha sambil berteriak memanggil Jalal. Tapi Jalal tidak menggubrisnya bahkan merasa terganggu. Jalal mengambil hp dan menelpon rahul yang ada di lantai bawah. Melalui telpon Jalal menyuruh Rahul membawa pergi Ruq dari rumahnya. Rahul bertanya, “di bawa pergi kemana?” Jalal menjawab, “terserah padamu. Carikan tempat tinggal untuknya, yang penting keluar dari rumahku. Aku tidak ingin di ganggu!”
Rahul segera melaksanakan permintaan Jalal. Rahul meminta Ruq ikut denganya. Ruq menolak, “aku tidak akan pergi dari sini sebelum bertatap muka dengan Jalal.” Rahul menjelaskan, “Jalal tidak ingin bertemu denganmu, dia tidak akan keluar dari kamarnya kalau kau masih di sini. Itu katanya tadi.” Ruq dengan marah menggeleng, “aku tidak perduli! Aku akan menunggunya!” Rahul membujuk Ruq, “Ruq, kau kan tahu sifat Jalal. Kalau dia sedang marah, sedih, kecewa dia tidak menggunakan otak warasnya. Aku yakin, saat ini sedikit banyak dia menyalahkanmu karena kepergian Jodha. Keadaan ini akan berbahaya bagimu dan bayimu kalau sampai Jalal lepas kendali. Akan kucarikan tempat tinggal sementara untukmu. Khusus malam ini, kau bisa menginap di rumahku.” Ruq tetap bersikeras tidak mau. Freya dan Hamida muncul membantu Rahul membujuk Ruq. Setelah begitu banyak bujukan, akhirnya Ruq menyerah. Dia tidak mau ikut Rahul tapi dia memilih tinggal bersama Hamida. Setelah suasana tenang karena Ruq sudah pergi, Jalal berbaring di ranjang Jodha sambil mendekap bantalnya. Ada aroma Jodha di bantal itu yang membuat Jalal merasa dekat denganya. Begitu besar rasa kehilangan yang di rasakan Jalal. Dia merasa hidupnya tidak lengkap tanpa Jodha. Jalal menyesali diri dalam kepiluan hatinya. Jalal kini merasa lebih baik menanggung ribuan rasa bersalah daripada harus kehilangan Jodha. Jodha telah menjadi nafas kehidupannya. Jalal tidak tahu apa yang akan terjadi padanya tanpa Jodha. Dalam airmata masih mengalir di pipi, Jalal tertidur.
Waktu terasa sangat cepat berlalu. Jalal sedang jalan-jalan di Agra mengendarai audinya ketika dia melihat di trotoar seberang jalan seorang wanita yang di kenalnya berjalan sambil menggandeng tangan seorang bocah. Tanpa berpikir panjang, Jalal berhenti dan keluar dari Audinya. Dia lalu berdiri di tepi jalan sambil menginggat siapa wanita yang seperti di kenalnya itu. Jalal terbelalak tak percaya saat mengenali kalau wanita itu adalah Jodha. Tapi siapa bocah kecil yang di gandengnya? Jodha dan bocah laki-laki itu berjalan sambil berbicara dan tertawa-tawa bahagia. Hati Jalal seperti di sengat lebah melihat kegembiraan mereka. Dia seperti terkucil dan terpenjara dalam sebuah kamar pangap yang membuatnya susah bernafas. Kerinduan yang membludak membuatnya tak berdaya. Jalal ingin berlari menghampiri Jodha dan bertanya siapa bocah laki-laki itu. Jalal menebak-nebak, sekian waktu berlalu, apakah bocah laki-laki itu anaknya? Rasa ingin tahu yang amat sangat membuat Jalal hilang pertimbangan. Tanpa pikir panjang Jalal melangkah menyebarangi jalan. Ketika hampir mencapai seberang, tiba-tiba sebuah mobil box melintas dengan kecepatan tinggi. Jalal tidak sempat menghindar. Mobil box itu menghamtam Jalal dan melemparkannya ke udara. Sebelum tubuhnya menyentuh aspal keras yang panas itu Jalal masih sempat menatap kearah Jodha yang saat itu juga sedang menatap kearahnya. Melihat Jodha menatap kearahnya, Jalal merasakan sebentuk kedamaian meyusup dalam relung sanubarinya. Jalal sambil tersenyum bahagia mengulurkan tangan kearah Jodha sambil menggumankan namanya, “Jodhaaa…” takdir bag 51