RENDEZVOUS bag 8 by Sally Diandra

RENDEZVOUS chapter 8. “Aku mau pulang ! Mana kacamata dan sepatuku ?” meskipun Jodha terus meminta kacamata dan sepatunya, Jalal tetap tidak bergeming, Jalal hanya menatap Jodha dengan perasaan iba “Kenapa anda melihat aku seperti itu ? Belum puas anda memperlakukanku seperti tadi ?”, “Aku minta maaf, Jodha ... aku serius, aku minta maaf, ini semua karena perbuatanku”, “Sudahlah, nggak usah basa basi, tuan Jalal ... semuanya sudah terlambat !” suara Jodha terdengar putus asa “Tapi kamu kan bisa mencari pekerjaan lagi ?” Jodha membelalakkan matanya “Anda pikir gampang cari kerja ? Oh iya aku lupa, anda itu bukan levelku !” sesaat Jalal tertegun mendengar ucapan Jodha yang terdengar cukup pedas ditelinganya “Apa maksudmu aku bukan levelmu ?” Jodha menyeringai sinis “Level orang orang yang berjuang demi memenuhi kebutuhannya, berjuang mencari pekerjaan ketika lowongan pekerjaan semakin sempit, berjuang mempertahankan hidup karena dipecat kerja ! Anda bukan termasuk golongan orang orang seperti itu, tuan Jalal !” Jalal semakin merasa sedih mendengar penjelasan Jodha “Aku memang tidak menyalahkan dirimu yang lahir disebuah keluarga kaya, dimana semuanya bisa serba mudah anda dapatkan, tidak seperti aku, yang terus berjuang mempertahankan hidup sejak aku lahir” kali ini suara Jodha terdengar melemah, tak terasa ada setitik airmata yang muncul dimatanya dan Jalal bisa melihat itu, sesaat keduanya terdiam, Jodha bisa mendapatkan sepatu trepesnya yang ada dibawah kursi, Jodha teringat kalau tas ranselnya tertinggal ditenda catering, ditumpuk bersama tas Zakira tapi ketika matanya menjelajah tenda utama, tidak ditemuinya Zakira disana.
Redenvouz“Apakah kamu terlibat hutang ?” Jodha langsung menghentikan niatnya untuk mengambil tasnya ditenda catering ketika Jalal melontarkan sebuah pertanyaan yang cukup menohok “Tidak ! Eh iya ! Eh tidak tidak ...” Jalal bingung melihat tingkah Jodha yang tiba tiba serba salah tingkah “Ya ! Aku memang terlibat hutang, lebih tepatnya orang tuaku dan parahnya kalau aku tidak membayar bunga bank, maka mereka terancam akan kehilangan rumah dan itu semua tergantung aku”, “Tergantung sama kamu ? Bagaimana bisa ? Mereka yang berhutang kenapa kamu yang harus membayar ?” Jodha semakin kesal dengan Jalal, nggak ada untungnya juga dia mengutarakan permasalahannya barusan ke laki laki ini, Jodha pikir nanti Jalal akan memberikannya sebuah pekerjaan ternyata semuanya sia sia “Anda itu selama ini hidup dimana sih ? Dinegara antah berantah ?”, “Lho ? Betul kan ? Kalau orang tuamu sudah berani untuk berhutang seharusnya mereka juga berani untuk membayar, bukannya dilimpahkan pada anaknya untuk membayar, benar kan ?”, “Mereka itu sudah pensiun, uang pensiunan mereka nggak cukup untuk membayar hutang, dan aku rasa sebagai seorang anak, aku wajib membantu orangtuaku, aku nggak merasa terbebani, sudahlah ... nggak ada perlunya aku ngomong sama kamu, aku mau pulang ! Mana kacamataku ?” Jalal memberikan kacamata minus Jodha yang sedari tadi disimpan disaku kemejanya, tak lama kemudian Jodha segera berlalu dari hadapan Jalal, namun baru beberapa langkah, teriakan Jalal menghentikan langkah Jodha “Tunggu !”
Jalal segera mengejar Jodha yang masih berdiri ditempatnya “Ada apa lagi ?” Jalal merasa frustasi karena begitu Jodha keluar dari tenda ini, itu artinya di tidak mungkin bisa bertemu dengan Jodha lagi dan Jalal merasa bertanggung jawab terhadap insiden pemecatan Jodha “Aku akan membantumu, aku akan memberikan kamu pekerjaan”, “Pekerjaan apa ? Jadi tukang bersih bersih rumah ?” Jalal sadar kalau sebenarnya dirinya bisa saja meminta pada ibunya atau saudaranya yang lain untuk memberikan Jodha sebuah pekerjaan tapi bagaimana dia harus mengatakan ? Alasan apa yang harus dia buat untuk meyakinkan mereka ? Pasti banyak pertanyaan yang mereka ajukan sebelum memberikan pekerjaan ke Jodha dan lagi rasanya Jodha pasti tidak akan menerima begitu saja pekerjaan yang diberikan oleh keluarganya, harga diri perempuan ini begitu tinggi “Tuan Jalal, pekerjaan apapun yang kamu berikan, itu tidak akan memberi aku gaji yang cukup tinggi seperti yang diberikan oleh Madam Benazir dan aku mungkin tidak akan menerimanya lagi, apalagi tanpa referensi dari Madam Benazir aku pasti tidak bisa mendapatkannya lagi sepanjang hidupku, sementara aku sangat membutuhkan uang tersebut, jadi ...” Jalal segera memotong ucapan Jodha “Tapi kamu butuh penyambung hidupkan ? Yaa semacam pekerjaan sementara sebelum kamu mendapatkan pekerjaan yang sesuai ? Jujur, Jodha ... Aku minta maaf, aku telah menyusahkan kamu, kamu bisa kan memaafkan aku ?” mata Jodha menyipit, kacamata minusnya telah bertengger lagi di hidungnya.
“Penyesalan selalu datangnya terlambat ! Dan lagi bekerja denganmu merupakan pilihan terakhirku, tuan Jalal !”, “Kamu ternyata begitu keras kepala ya ? Okeee ... aku akan menggajimu seperti yang Benazir lakukan, berapapun itu, aku akan bayar !” Jodha tertegun mendengar ucapan Jalal, tenggorokannya terasa kering, pergulatan dalam bathinnya mulai bergejolak antara menerima tawaran laki laki didepannya ini dan menyerahkan diri pada kekuasaannya atau tidak menerima tapi resiko melihat penderitaan ayahnya hingga beberapa bulan kedepan, Jodha berada disebuah dilema yang sulit “Begini, Jodha ... saat ini aku belum mempunyai pekerjaan yang pantas untukmu, jadi pekerjaan yang aku tawarkan ini mungkin sifatnya sementara sambil kamu mencari pekerjaan yang lain, yang penting kamu bisa membayar hutang ayahmu kan ?”, “Pekerjaan apa itu ?” Jodha mulai tertarik dengan tawaran yang Jalal berikan “Aku baru saja membeli sebuah rumah, saat ini belum aku tinggali karena masih ada beberapa bagian yang harus direnovasi, jadi pekerjaan yang aku bisa tawarkan padamu yaitu ... bersih bersih rumah sambil mengawasi para tukang yang bekerja, untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik, bagaimana ? Dan aku akan menggajimu sama seperti yang dilakukan oleh Benazir”, “Anda akan menggajiku sama seperti yang dilakukan Madam Benazir ? Anda serius ?” Jodha masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Jalal “Aku serius, Jodha ... Ini ...” tiba tiba Jalal mengeluarkan dompetnya “Berapa gajimu perbulan ? Aku akan memberikannya sebagai tanda jadi” Jodha melihat dompet Jalal yang tebal dimana hanya terdapat uang kertas berwarna merah dan biru, sesaat Jodha hanya bisa menelan ludah.
“Anda serius menggaji aku 7 juta per bulan hanya untuk bersih bersih dan mengawasi rumah ?” Jalal mengangguk mantap, berapapun nominal yang disebut oleh Jodha itu tidak jadi masalah, yang penting dia bisa menebus kesalahannya tadi dan yang pasti bisa terus melihat Jodha setiap hari, sebuah harga yang mahal yang harus Jalal bayar untuk mendapatkan seorang Jodha. “Kak Jodha !” belum juga Jodha menerima tawaran Jalal, tiba tiba saja Rahim sudah berlari kearahnya, diikuti oleh Salima yang berjalan gontai dibelakangnya “Haiii, Rahim ... apa kabar ? Kamu dari mana saja ?”, “Aku baru saja melihat kuda kuda poni bermain akrobatik, aku tadi juga menungganginya, kak Jodha nggak lihat ya ?” Jodha hanya tersenyum “Lalu apa lagi yang kamu lihat ? Kamu pasti sangat senang ya”, “Ya tentu saja, Rahim sangat menikmati acara hari ini, ulang tahun pernikahan ayah dan ibumu benar benar mengagumkan, Jalal” Salima ikut menimpali pembicaraan mereka, Jalal hanya tersenyum mendengarnya “Mereka ingin membagikan kebahagiaan mereka pada semua orang, untuk itulah mereka mengadakan pesta hari ini”, “Okee, kalau begitu ... saya pamit dulu, silahkan bersenang senang, kak Jodha pulang dulu ya, Rahim” Jodha langsung memotong ucapan Jalal “Lho bukannya kamu masih harus mengurusi acara ini sampai nanti malam, Jodha ?” pertanyaan Salima membuat Jodha jadi salah tingkah “Dia harus pulang, Salima ... tadi Jodha mendapat kabar dari ibunya, yang mengharuskan dia pulang” Jodha hanya mengangguk angguk saja membenarkan ucapan Jalal “Oh iya, Jodha ... Ini kartu namaku, siapa tahu kamu butuh bantuanku, kamu bisa menghubungi aku disini”, “Oke, terima kasih, tuan Jalal ... saya permisi dulu, mari nyonya Salima, ayoo Rahim”, “Daaah kak Jodha, sampai ketemu lagi yaa” Jodha segera berlalu dari hadapan mereka, sementara Jalal terus memandangi kepergiannya “Kamu menyukainya, Jalal ?” tiba tiba pertanyaan Salima menyadarkan Jalal dari pandanganya ke Jodha yang sudah menjauh “Kenapa kamu bisa bilang begitu ?”, “Aku bisa melihatnya dari matamu, sepertinya kamu menyimpan sesuatu terhadap dirinya” Jalal hanya tersenyum “Aku memang tidak pernah bisa menyembunyikan sesuatu apapun dari kamu, Salima” tepat pada saat itu seluruh keluarga Jalal memasuki tenda utama dan acarapun berlangsung kembali.
Sementara itu ketika Jodha sedang mengambil tasnya, tiba tiba Zakira muncul didepannya “Jodha, kamu mau pulang ? Aku sudah tahu semuanya, kamu tidak apa apa ?” Jodha hanya tersenyum “Aku tidak apa apa, Za ... Mungkin ini memang nasibku, aku pulang dulu ya, kamu kerja yang baik, okay ?”, “Aku antar kamu sampai depan ya, aku akan pinjam motornya Maan Sigh”, “Jangan ! Nanti kamu malah disemprot sama Madam, sudah nggak papa aku jalan kaki saja, yaa itung itung olahraga, aku pulang dulu yaa” Zakira hanya menatap teman seprofesinya itu dengan perasaan iba, Jodha terus berjalan menuju ke gerbang utama ranch kuda keluarga Jalal yang jaraknya memang cukup jauh bila ditempuh dengan berjalan kaki “Heeey ! Kamu ! Kamu mau keluar ?” Jodha menoleh kesumber suara yang tiba tiba memanggilnya, dilihatnya adik Jalal, Mirza Hakim sedang mengendarai motornya pelan pelan disampingnya “Kebetulan aku juga mau keluar, ayoo aku antar ! Kaki kamu bisa gempor lhoo !” Jodha hanya tertawa kecil “Baiklah, daripada kakiku jadi tales Bogor, aku ikut sampai depan ya”, “Kamu mau cari bis ? Aku antar kamu sampai ke pangkalan bis disini, ayoo” Jodha segera duduk dibelakang Mirza Hakim, Jodha merasa bersyukur karena ada dewa penolong yang mau memberikan bantuannya untuk mencarikan bis, sementara Mirza Hakim tersenyum senang sambil teringat pada perintah kakaknya untuk mengantar Jodha “Mirza, aku butuh bantuanmu !”, “Ada apa, kak ?”, “Tolong kamu antar salah satu karyawan Madam Benazir, kamu ingat kan yang tadi pagi yang sedang menghias kuda kuda poni ?”, “Lalu ... ?”, “Antar dia sampai dapat bis ya, sepertinya dia harus pulang, kasihan dia, sementara matahari sudah hampir terbenam”, “Okee siap bos !”
Sesampainya di Jakarta, saat itu masih sekitar jam setengah sembilan malam, sementara tadi pagi Jodha pamit pada kedua orangtuanya kalau hari ini dia akan pulang tengah malam, so tanpa pikir panjang Jodha segera memutuskan untuk menginap dirumah Moti daripada mendapatkan ribuan pertanyaan dari kedua orangtuanya yang melihatnya pulang malam ini “Gila ! Itu orang mau nggaji kamu 7 juta per bulan sebagai seorang pembantu ? Bussyeeet !” Moti benar benar tidak percaya begitu Jodha menceritakan kronologi kepulangannya malam itu “Sinting kan, Mo ! Makanya aku bingung, aku terima apa nggak ya ?”, “Terima aja lagi, Jo ! Hari ini gila aja bisa dapat uang segitu banyak hanya untuk ngawasi rumah dan bersih bersih, aku juga mau kalau nggak hamil gini” ujar Moti sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit “Kamu ini ya bisa aja tapi ini nggak semudah seperti yang kamu bayangkan, Mo ! Aku yakin ini ada udang dibalik batu !”, “Udang dibalik bakwan ! Itu baru enak !” Jodha menggelengkan kepalanya ke Moti “Bisa nggak sih nggak becanda dulu, ini serius, Mo”, “Haalaaah ... ngapain juga make mikir mikir segala, udah terima aja, apalagi sih yang kamu pikirin ? Sementara saat ini, dibikin kamu dapat pekerjaan, duitnya itu nggak segitu, Jo ! Mikir !”, “Tapi itu berarti, aku akan berada pada kekuasaannya, Mo ... orangnya itu nekat banget”, “Nggak masalah, menurutku itu nggak jadi masalah, Jodha ... apalagi tadi kamu bilang orangnya ganteng, laki banget, so what ?” ucapan Moti mungkin benar, apa yang harus Jodha pikirkan lagi, karena pekerjaan apapun mungkin Jodha tidak akan mendapatkan gaji sefantastis seperti yang Jalal tawarkan tapi rasanya ada sesuatu yang mengganggu pikiran Jodha, Jalal pasti akan menguasai dirinya dan harga diri Jodha melawan hal itu. NEXT