Takdir bag 47 by Tahniat. Jalal terkejut dan bergegas menghampiri Jodha. Jodha memandang Jalal dengan tatapan ingin tahu. Di pandang begitu Jalal merasa lega, karena itu artinya Jodha tidak mendengar apa yang di bicarakannya dengan Ruqaiya. Jalal ingin Jodha mengetahui kabar buruk itu dari dirinya, bukan dari orang lain. Jalal segera menggandeng tangan Jodha, mengajaknya keluar dari kamar Ruqaiya. Sebelum pergi, Jodha tersenyum dan mengangguk kearah Ruqaiya yang balas tersenyum penuh arti padanya.
Jalal membawa Jodha ke kamarnya. Lalu dia mendudukkan Jodha di sofa, dirinya sendiri duduk berjongkok di depan Jodha sambil menggenggam tangannya. Jalal menatap Jodha dengan lembut bercampur rasa sedih. Sedih karena dia tahu apa yang akan di katakan pada Jodha pasti akan membuat wanita yang di cintainya itu terluka. Jodha menunggu dengan tidak sabar, “apa yang ingin kau katakan padaku? Apakah sesuatu yang sangat penting?” Jalal mempererat genggamanya pada tangan Jodha seolah ingin mendapat kekuatan dan keberanian dari sana. Dengan tegang dan ragu-ragu Jalal berkata, “Aku ingin mengatakan sesuatu yang sangat penting. Tapi aku mohon, jangan menyelaku sebelum aku selesai bicara. Maukah kau berjanji padaku?” Jodha menatap Jalal dengan rasa ingin tahu, lalu sambil tersenyum dia mengangguk, “aku berjanji.”
Jalal menghela nafas berat, lalu berkata, “Ruqaiya hamil,” Jalal tidak melanjutkan kata-katanya, dia menatap Jodha, menunggu reaksinya. Jodha terlihat terkejut, tapi tidak mengatakan apa-apa, “dia ingin seorang ayah untuk anaknya, kalau tidak dia akan mengugurkan kandungannya.” Jodha tertegun tak percaya. Lalu dengan ketakutan yang membayang di wajahnya dia menggelengkan kepala. Jalal berkata, “aku tahu. Aku sudah melarangnya dan berjanji akan mencarikan pria baik untuk menjadi suami dan ayah bagi bayi dalam kandungannya. Tapi dia menolak…” Jalal dengan ragu-ragu dan raut wajah bingung menatap Jodha, ada duka yang bergayut di matanya, menyadari apa akibat dari kalimat yang akan di katakannya pada Jodha, “..Ruqaiya ingin aku menikahinya!” Jodha schock. Beberapa saat lamanya dia mematung beku dengan tatapan nanar. Jalal jadi takut melihat reaksi Jodha. Dengan pelan dia menepuk-nepuk pipi Jodha, “Jodha….” Jodha tersentak. Kesadarannya telah kembali. Dengan mata berkaca-kaca, Jodha bertanya, “apakah kau akan menikahinya?” Jalal menundukkan wajah tak berani menatap Jodha, dia berguman lirih, “aku tidak punya pilihan lain. Kalau aku menolak, dia akan mengugurkan kandungannya. Aku tidak ingin di hantui rasa besalah seumur hidupku, seorang bayi akan terbunuh karena aku. Untuk itu aku memohon pengertianmu, izinkan aku menikahi Ruqaiya. Hanya sampai bayinya lahir, setelah itu aku akan menceraikannya.” Jodha dengan suara berat menanggung kesedihan bertanya, “apakah dia tahu kau akan menceraikannya setelah bayinya lahir?” Jalal menggeleng, “tidak! Dia tidak perlu tahu. Wataknya keras. Kalau dia tahu aku akan menceraikan dia setelah bayinya lahir, dia akan lebih memilih mengugurkan kandungannya dari pada menikah denganku.”
Jodha mengangkat wajahnya menatap lanngit-langit kamar. Setitik air mata menetes di pipinya. Banyangan sebagai wanita yang hidup di madu mulai melintas di benaknya, bagaimana dia harus berbagi ‘Jalal’ dengan Ruqaiya dan harus bertenggang rasa melihat kemesraan mereka nantinya. Membayangkan itu dada Jodha terasa sesak. Jodha menarik tangannya dan menekan dadanya. Melihat itu Jalal sangat khawatir tapi tak tahu harus bertanya atau bersikap bagaimana. Dia tahu Jodha merasakan sakit di dadanya. Sakit yang di sebabkan olehnya. Karena itu dia tidak berani bertanya. Sebab Jalal sendiri tak berdaya. Dia tahu telah menyakiti Jodha, tapi kalau dia menolak menikahi Ruqaiya, bayi yang belum melihat dunia itu akan mati ~secara tidak langsung~ karena dirinya. Apa salah bayi itu? Apa dosanya? Karena keegoisannya… satu nyawa yang sangat berharga melayang. Satu nyawa yang yang sangat berharga ~lebih berharga~ bahkan jika di bandingkan dengan kabahagiaan dirinya dan Jodha.
Jodha menghela nafas berat dan berkata dengan nada duka, “aku tidak bisa, Jalal. Aku tidak akan mengizinkanmu menikahi Ruqaiya atau wanita manapun di dunia ini. Aku tidak ingin hidup di madu. Mungkin menurutmu aku egois. Tapi aku tak akan bisa menerima kehidupan seperti itu. Tidak Jalal… aku tidak mau!”
Jalal menyentuh pipi Jodha, Jodha menepiskan tangan jalal. Jalal mencobanya lagi dan berkata dengan nada membujuk, “aku janji aku tidak akan menyentuhnya. Aku tidak mencintai Ruqaiya, Jodha. Aku hanya mencintaimu saja. Aku akan menceraikannya begitu bayi itu lahir. ~Jodha tetap menggeleng, Jalal berkata dengan anda memelas~ Jangan membuatku dalam dilema Jodha. Aku tidak ingin melihatmu tidak bahagia. Tapi aku juga tidak bisa membiarkan nyawa bayi yang tidak berdosa mati begitu saja, padahal aku bisa menolongnya. Kalau sampai itu terjadi, aku akan selalu merasa bersalah dan tak kan bisa memaafkan diriku selamanya..”
Mata Jalal berkaca-kaca, melihat itu hati Jodha tersentuh. Dia sama sekali tak ingin menempatkan Jalal dalam dilema. Dia sungguh-sungguh tidak bisa menerima wanita lain dalam hidup Jalal. Tidak bisa! Tak perduli siapapun orangnya. Tapi dia juga tak ingin melihat Jalal tersiksa oleh rasa bersalah seumur hidupnya. Jodha binggung, tak tahu harus bagaimana. Jodha dengan lirih bertanya, “tak adakah jalan keluar yang lain?” Jalal menjawab dengan tak kalah lirihnya, “aku sudah memikirkannya.. dan tak menemukan satupun jalan keluar yang bisa menyelamatkan kita semua. Harus ada yang di korbankan.”
Jodha terdiam beberapa lama, berpikir keras, mencari jalan keluar. Tiba-tiba muncul suatu ide di kepalanya. Jodha tahu apa yang harus di lakukannya. Tapi dia tak berniat mengatakannya pada Jalal. Jodha rela menderita dan tak bahagia, tapi dia tak bisa melihat pria yang dicintainya tersiksa karena rasa egoisnya. Dia tak ingin Jalal menderita karena berada dalam dilema ataupun oleh sergapan rasa bersalah. Yang Jalal butuhkan adalah izinnya untuk menikahi Ruqaiya. Hanya dirinya yang bisa membuat Jalal bahagia.
Jalal masih berjongkok dengan kedua tangan menggenggam tangan kiri Jodha. Jodha menarik tanganya dan menangkupkannya di pipi Jalal, dan mengangkat wajah Jalal agar memandangnya. Jodha melihat butiran air bening terbendung di sudut mata Jalal. Hati Jodha terasa nyeri melihatnya. Dengan menguatkan hati, Jodha berkata, “aku akan mengizinkanmu menikahinya, tapi sebelum itu, aku ingin bicara dengan Ruqaiya… hanya berdua saja..”
Jalal tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Hatinya merasa terharu oleh kebaikan Jodha dan pengertiannya. Air mata yang sejak tadi terbendung di sudut matanya, mengalir. Jodha sambil menahan tangis, mengusap air mata itu dan memeluk Jalal. Mendekap Jalal erat di dadanya dengan peraaan takut kehilangan dan putus asa….. Takdir bag 48
Precap: Ruq mendapatkan apa yang di inginkannya, dan Jodha harus menahan ketidak bahagiaannya demi suaminya tercinta. Dalam bayangan Jodha, hidup di madu tidak akan terlalu buruk daripada hidup bersama orang yang akan dihantui rasa bersalah seumur hidupnya..