Takdir bag 48. Ruqaiya seperti sudah menduga kalau Jodha akan datang menemuinya. Dia menyambut Jodha dengan senyum lebar. Ruq tahu, rencananya untuk memaksa Jalal menikahinya pasti berhasil. Banyak yang mengenal Jalal sebagai orang yang tidak berperasaan, tapi sebenarnya, Jalal adalah orang yang paling sensitif yang di kenal Ruq. Sisi kemanusiaannya sangat dalam, empatinya pada orang lain seringkali mengalahkan akal sehatnya. Untuk menutupi kelemahannya itu Jalal kemudian memasang wajah keras, kejam, Ignoran seperti yang di kenal khalayak selama ini. Hanya Ruq yang tahu. Dengan pengetahuannya itulah kini dia berhasil menundukkan Jalal dan menguasai pikirannya. Ruq sangat yakin, Jalal akan bersedia menikahinya kalau dia mengancam akan mengugurkan bayi dalam kandungannya. Tinggal satu langkah lagi, dia akan berhasil memiliki Jalal. Begitu Jalal menjadi miliknya, maka akan sangat mudah menyingkirkan Jodha.
Sambil berusaha menutupi kesedihannya Jodha berkata pada Ruq, “Jalal mengatakan padaku kalau kau ingin dia menikahimu demi bayi yang kau kandung. Aku tidak tahu kenapa kau ingin menjadi istrinya padahal kau tahu kalau dia adalah suamiku. Kenapa kau ingin menjadi madu? Bukankah Jalal telah berjanji akan mencarikan suami yang baik untuk mu dan ayah yang bertanggung jawab bagi bayimu? Bukankah itu lebih baik daripada harus menjadi istri kedua?”
Ruq tertawa, “karena tidak ada pria lain yang sebaik Jalal. Hanya dia yang layak menjadi ayah untuk anak ku. Aku tidak percaya pada yang lain.” Jodha berkata dengan tatapan memohon, “kalau begitu, aku bersedia menjadi ibu bagi anak mu. Setelah dia lahir nanti kau bisa memberikan anak itu pada kami. Aku akan menjadi ibu dan Jalal akan menjadi ayahnya. Dan kau bebas menikah dengan siapa saja yang kau mau tanpa perlu mengkhawatirkan anakmu. Menjadi satu-satunya istri untuk seorang suami dan bukan menjadi istri ke dua. Aku berjanji akan merawat dan membesarkan anakmu dengan baik.” Semula Ruq tercengah mendengar usul Jodha, tapi kemudian dia tertawa geli, “kau pikir aku menikahi jalal untuk anak ku saja? Kau salah. Aku ingin menikahi Jalal karena aku mencintainya. Tidak ada pria di dunia ini yang kucintai seperti aku mencintai Jalal. Bukan itu saja, Jalal adalah sepupu dan teman kecilku. Aku yakin dia juga mencintai aku, sebesar cintaku padanya.” Jodha menatap Ruq dengan sedih campur heran, “kalau dia mecintaimu, kenapa dulu dia tidak menikahimu? Dan kalau kau mencintainya, kenapa kau biarkan pria lain menghamilimu?”
Ruq bengong mendengar pertanyaan Jodha, tak tahu harus menjawab apa. Tapi bukan Ruq namanya kalau tidak bisa berkelit dengan mudah, “..itu..itu bukan urusanmu. Urusanmu adalah mengizinkan Jalal menikahiku. Kau harus mengizinkannya kalau kau tak ingin dia tersiksa oleh rasa bersalah. Percayalah, aku hanya ingin Jalal yang menjadi ayah bayi ini. Kalau Jalal tidak mau menikahi aku, aku akan menggugurkannya. Dan kalian yang menanggung dosanya. Karena ke egoisan kalian berdua aku sampai harus menggugurkan bayi yang tak berdosa ini. Kalian akan di cap sebagai pembunuh. Dan sepanjang hidupmu kau akan ingat kalau seorang bayi telah mati karena ke egoisanmu!”
Jodha dengan lembut berusaha membujuk, “tidak perlu sampai begitu, Ruq. Kau tidak perlu menggugurkan bayi itu. Aku ingin dia menjadi anakku. Kumohon.. mengertilah! Apakah kau tidak tahu apa artinya hidup di madu dan menjadi madu? Kita tidak akan bahagia..!”
“Kau yang tidak akan bahagia. Tapi aku akan memastikan kalau aku dan Jalal akan bahagia. Kalau kau nanti merasa tidak bahagia, kau bebas pergi dari hidup Jalal kapan saja. Aku akan membujuknya untuk menceraikanmu. Dan kau bisa mencari pria lain untuk menjadi suamimu.” Saran Ruq dengan tatapan licik.
Jodha putus asa dan tak tahu harus berbuat apa. Dia merasa seperti dipaksa memakan buah si malakama. Di makan dia akan kehilangan Jalal, tidak di makan dia juga akan ‘kehilangan’ Jalal. Tentu saja kehilangan Jalal secara harfiah akan sama pahitnya dengan ‘kehilangan’ Jalal secara maknawiyah. Hidup dengan orang yang di rundung rasa bersalah akan sama tidak bahagianya dengan kehilangan orang itu. Bedanya, dengan membiarkan Jalal menikahi Ruqaiya hanya dirinya yang tidak bahagia. Tapi kalau sampai Ruq mengugurkan kandunganya, Jalal akan merasa bersalah, dan Jodha juga pasti tidak akan bahagia. Kalau harus memilih, Jodha lebih memilih untuk melihat Jalal bahagia meskipun dirinya menderita. Karena cinta dalam hatinya, Jodha tidak akan sanggup melihat Jalal tidak bahagia. Tanpa berkata apa-apa lagi, Jodha keluar dari kamar Ruq di ikuti tatapan sinis dan senyum liciknya.
Jodha dengan gontai kembali ke kamarnya. Jalal berdiri menyambut Jodha dan menghampirinya dengan harap-harap cemas, “bagaimana? Apa kata Ruqaiya?” Jodha sambil menitikan air mata menggelengkan kepala, “aku sudah katakan kalau aku besedia menjadi ibu bagi anaknya dan akan merawat serta mengasuhnya seperti anakku sendiri. Tapi dia menolak. Dia tetap ingin kau menikahinya. Kalau tidak dia akan mengugurkan bayi dalam kandunganya.” Jalal memeluk Jodha yang terisak sedih. Dia mendekap wanita yang di cintainya erat di dadanya. Seolah takut kehilangan dia. Setitik air mata jatuh di pipi Jalal. Dia merasakan kesedihan yang sama seperti yang di rasakan Jodha. Hatinya seperti teriris sembilu melihat Jodha tidak bahagia. Tapi dia juga tidak bisa membiarkan bayi yang tidak bersalah mati karena dia menolak menikahi ibunya. Jalal berjanji dalam hati, nanti setelah bayi itu lahir, dia akan melakukan apa saja untuk membuat Jodha bahagia.
Pernikahan Jalal dan Ruqaiya telah di tetapkan waktunya. Ruqaiya menuntut agar jalal menikahinya secepatnya. Kalau tidak, dia tidak akan segan-segan mengugurkan bayinya, karena dia tidak ingin orang melihat perutnya yang buncit di balik gaun pengantinya. Jalal meminta waktu seminggu untuk bersiap-siap. Ruq setuju. Walaupun tidak begitu dekat dengan ibunya, Jalal tetap memberitahu Hamida kalau dirinya akan menikahi Ruqaiya. Hamida sangat berang mendengar kabar itu. Dia memarahi Jalal dan melarangnya menikahi Ruqaiya. Jalal tidak mebantah dan hanya diam dalam ketidak berdayaannya. Hamida memarahinya habis-habisan. Ini kali pertama Hamida memarahi Jalal. Selama ini, apapun kesalahan yang di buat Jalal, Hamida selalu bersabar dan memaafkannya. Tapi kali ini dia tidak bisa menahan diri. Hatinya tidak terima Jodha di sakiti olehnya.
Dimarahi ibunya yang diam-diam sangat di sayanginya ~tapi selalu di abaikan keberadaannya~ mau tak mau membuat Jalal sedih. Tanpa sadar dia menitikan air mata. Melihat itu Jodha segera memeluk Jalal dengan iba. Akhirnya dengan sangat terpaksa, Jodha memberitahu duduk persoalan yang sebenarnya pada hamida.
Mendengar cerita Jodha, tanpa buang waktu lagi, Hamida segera menemui Ruqaiya dan menyuruhnya membatalkan pernikahan. Tapi Ruq menolak dan mengatakan hanya Jalal yang berhak membatalkan pernikahan. Hamida serba salah. Hamida tahu, rasa tanggung jawab dan perikemanusiaan dalam diri Jalal tidak akan mengizinkan seorang bayi mati karena dirinya. Hamida paham betul sifat anaknya. Ketika Baksi Bano keguguran dan menjadi gila, Jalal adalah orang yang paling terluka. Dia menghukum dirinya sendiri untuk itu. Dia merasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan nyawa bayi Baksi Bano yang tidak berdosa. Dia mengucilkan diri dari orang-orang yang dicintainya, bersikap kejam dan tidak berperasaan. Semua itu di lakukan Jalal untuk menutupi rasa bersalahnya. Hamida tidak tahu, apa yang akan terjadi pada Jalal jika peristiwa serupa kembali dialaminya. Ruqaiya sudah seperti adik bagi Jalal. Jalal menyayangi Ruq seperti dia menyayangi Baksi. Tapi kalau Ruq kemudian Jatuh hati pada Jalal, itu bukan sepenuhnya salah Ruq. Hamida tahu anaknya sangat tampan, penuh perhatian, menarik dan baik hati. Banyak wanita yang jatuh cinta dan rela melakukan apa saja untuk mendapatkan dia. Dan itulah yang di lakukan Ruqaiya sekarang. Hamida menjadi sama tak berdayanya dengan Jodha dan Jalal dalam menghadapi kekeras kepalaan Ruqaiya.
Dua hari menjelang pernikahan Jalal, Jodha terlihat sangat tegang, wajahnya pucat dan tubuhnya terasa lemas. Tapi dia memaksakan diri. Saat itu Jodha bersama Moti sedang berbelanja untuk pesta pernikahan Jalal ketika tiba-tiba Jodha pingsan. Moti dengan cekatan membawa Jodha ke klinik. Moti terlihat was-was dan cemas takut kalau Jodha kenapa-kenapa. Tapi ketika kemudian dokter mendiagnosa kalau Jodha hamil, Moti terlihat sangat bahagia. Saat Jodha sadar dan di beritahu tentang kehamilannya, diapun sangat bahagia. Tapi ketika sadar kalau ayah dari anaknya akan menikah lagi, Jodha menjadi sedih. Moti menyarankan agar Jodha memberitahu Jalal kalau dirinya hamil, siapa tahu Jalal akan membatalkan pernikahannya dengan Ruqaiya. Jodha menolak, “Jalal bukan ingin menikahi Ruqaiya, tapi dia dipaksa untuk menikahinya. Tidak akan ada gunanya mengatakan tentang kehamilanku padanya. Aku mohon Moti, jangan katakan dulu pada siapapun tentang hal ini. ”
Hari pernikahan Jalal dan Ruqaiya pun tiba. Jodha mendandani suaminya yang akan menjadi mempelai pria dengan sepenuh hati. Jalal terlihat sangat gagah dan tampan dalam baju sherwani. Jodha tak berhenti menatapnya dengan bangga dan sedih. Bangga karena pria gagah dan tampan yang ada di depannya adalah suaminya. Sedih karena sebentar lagi dia harus membagi dirinya dengan wanita lain. Melihat kesedihan Jodha, Jalal segera memeluknya. Jodha menyembunyikan tangisnya di dada bidang Jalal. Jalal mengangkat dagu Jodha, dan mencium bibirnya dengan lembut dan mesra. Jodha membalas ciuman itu dengan sepenuh jiwa seolah-olah itu adalah ciuman terakhirnya.
Ruqaiya telah terlebih dahulu berangkat ke tempat upacara. Rahul akan mengantar Jalal kesana. Sebelum pergi jalal berpesan pada Jodha, agar segera menyusul kesana karena akad nikah tidak akan di lakukan tanpa kehadiran Jodha. Jodha dengan berat hati mengangguk, “aku akan pergi dengan Freya.” Sekali lagi Jalal mencium Jodha, Rahul dan Moti membalikan badan untuk memberi mereka privacy. Setelah pusaa menciumnya, Jalal berkata, “ingatlah apa yang kukatakan semalam. Aku milikmu, kau milikku. Tak ada yang bisa mengambil tempatmu di hatiku. Kau cintaku, kekasihku selamanya. Apapun yang terjadi, ingatlah janjiku!” Dengan berat hati Jalal melepas pelukan Jodha dan pergi bersama Rahul ke tempat upacara.
Setelah Jalal pergi, Jodha segera menyuruh Moti memanggil taksi. Jodha menganti pakaian dengan baju casual yang membuatnya dapat bergerak cepat. Setelah itu, dia menemui Moti yang berdiri di samping taksi sambil menenteng tas ransel kecil. Moti dan Jodha saling berpelukan. Kata Jodha, “terima kasih, Moti. Kau telah sangat baik padaku selama ini. Aku akan merindukanmu.” Moti menyahut, “aku juga akan merindukanmu, Jodha. Aku akan dengan senang hati pegi denganmu kalau kau mau mengajakku.” Jodha melepaskan pelukannya dan menggeleng, “tidak Moti. Kalau kau pergi, siapa yang akan mengurus dan melayani mistermu? Tolong jaga dia. Jangan biarkan dia bersedih. Katakan padanya kalau aku sangat mencintainya dan ingin dia bahagia.” Moti menitikan air mata. Jodha mengusap air mata moti dan memeluknya sekali lagi…… Takdir bag 49
Precap: Jalal telah memutuskan kalau akad nikah tidak akan di lakukan tanpa kehadiran Jodha. Ruq menjadi gelisah….